Perbedaan PPh 21 dan 26: Objek, Subjek dan Cara Menghitung

Bagi warga negara Indonesia yang memiliki NPWP, menyetorkan pajak merupakan kewajiban. Pajak yang disetorkan akan digunakan untuk pembangunan negara. Pajak pun memiliki banyak jenis seperti pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), PPnBM, PBB dan lain sebagainya. Pajak penghasilan sendiri terdiri dari PPh pasal 21, 22, 23 dan 26. Kali ini, kita akan membahas perbedaan PPh 21 dan 26 dari segi pengertian, subjek pajak, objek pajak dan cara menghitungnya. Untuk lebih jelasnya, yuk simak penjelasannya di bawah ini!

Pajak Penghasilan Pasal 21

Pengertian PPh 21

Pajak Penghasilan pasal 21 adalah pajak yang dibebankan kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri karena menerima gaji, upah, tunjangan, honorarium dan pembayaran lainnya. Menurut Peraturan Direktur Dirjen Pajak PER-32/PJ/2016, batas penghasilan yang diterima dan harus dikenakan pajak adalah di atas Rp4.500.000,- per bulan atau lebih dari Rp54.000.000,- dalam satu tahun. PPh tersebut dikenakan untuk karyawan tetap dan tidak tetap.

Sedangkan untuk freelance, batas penghasilannya yaitu lebih dari Rp450.000,- sehari atau dengan penghasilan di atas Rp4.500.000,- dalam satu bulan.

Karyawan yang bekerja dan menerima gaji yang terpotong PPh 21 tiap bulan harus melaporkan SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) pada tahun pajak selanjutnya. Untuk wajib pajak badan PPh 21 atau perusahaan pemotong PPh 21, wajib menyetorkan pajak ke kas negara.

Baca Juga: Surat Teguran Pajak (STP): Fungsi, Sanksi dan Tahapannya

Objek PPh 21

Kalau dilihat dari pengertian, penghasilan yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi akan dikenakan pajak. Kategori penghasilan seperti apakah yang dikenakan PPh 21?

  • Penghasilan teratur maupun tidak teratur yang diperoleh pegawai tetap
  • Penghasilan teratur yang diterima penerima industri seperti uang industri atau penghasilan sejenis
  • Penghasilan yang berhubungan dengan PHK (pemutusan hubungan kerja) seperti uang pesangon, tunjangan hari tua, dan sebagainya
  • Penghasilan pegawai tidak tetap atau freelance seperti upah harian, mingguan, atau bulanan
  • Imbalan untuk bukan pegawai seperti honorarium, komisi, fee, dan imbalan lain yang berhubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan.
  • Imbalan untuk peserta kegiatan seperti uang saku, uang rapat, honorarium, dan imbalan sejenisnya dengan nama apapun.

Subjek PPh 21

Pajak penghasilan ini dikenakan kepada wajib pajak orang pribadi yang memperoleh penghasilan seperti pada penjelasan sebelumnya. Yang termasuk dalam subjek PPh 21 meliputi pegawai tetap, pegawai tidak tetap, bukan pegawai, orang pribadi penerima pensiun maupun pesangon, mantan pekerja, peserta kegiatan dan anggota dewan komisaris.

Cara Menghitung PPh 21

Ada 3 cara menghitung pajak penghasilan pasal 21, antara lain:

Metode Gross (Gaji Kotor Tanpa Tunjangan Pajak)

Cara ini dipakai untuk karyawan yang menanggung PPh 21 secara mandiri, jadi gaji yang diterima belum dipotong PPh 21.

Contohnya Aldo adalah karyawan dengan status lajang (TK/0) menerima gaji sebulan sebesar Rp8.000.000,- maka besar pajak yang harus disetorkan dan gaji bersih yang diterima adalah:

Gaji pokok = Rp8.000.000,- per bulan atau Rp96.000.000,- setahun

Dengan tarif PPh 15%, maka PPh 21 selama setahun adalah Rp14.400.000,- atau Rp1.200.000,- per bulan

Gaji bersih yang diterima Aldo adalah Rp6.800.000,-

Metode Gross Up (Gaji Bersih dengan Tunjangan Pajak)

Cara yang selanjutnya adalah dengan menaikkan gajinya terlebih dahulu sebesar pajak yang dipotong.

Contohnya Lala seorang karyawan swasta single (TK/0) dengan gaji sebulan Rp10.000.000,-. Maka pajak yang dikenakan untuk Lala adalah sebagai berikut:

Gaji pokok = Rp10.000.000,- per bulan atau Rp120.000.000,- per tahun

Tarif PPh sebesar 15%

Tunjangan pajak dari perusahaan per bulan Rp825.000,- atau Rp9.900.000 per tahun

Total gaji bruto Lala per bulan sebesar Rp10.825.000,-

Nilai PPh 21 per bulan (yang dibayarkan perusahaan) adalah Rp825.000,-

Gaji bersih yang diterima Lala per bulan sebesar Rp10.000.000,-

Metode Net (Gaji Bersih dengan Pajak Ditanggung Perusahaan)

Nah, cara yang terakhir yaitu metode net dimana karyawan mendapatkan gaji bersih yang pajaknya sudah ditanggung perusahaan.

Misalnya Boy adalah lelaki single (TK/0) menerima gaji bulanan sejumlah Rp 20.000.000, maka PPh 21-nya sebagai berikut:

Gaji pokok Boy per bulan (gaji bruto) sebesar Rp20.000.000,- atau Rp240.000.000,- per tahun

Tarif PPh 21 = 15%

PPh yang ditanggung perusahaan: Rp36.000.000,-/tahun atau Rp3.000.000,-/bulan

Nilai PPh 21 (yang dibayarkan perusahaan): Rp3.000.000,-/bulan

Gaji bersih yang diterima Boy adalah Rp20.000.000,-/bulan

Pajak Penghasilan Pasal 26

Pengertian PPh 26

Pajak Penghasilan pasal 26 merupakan aturan mengenai transaksi wajib pajak dalam atau luar negeri. PPh 26 adalah pajak yang berhubungan dengan WPLN atau Wajib Pajak Luar Negeri. Setiap badan usaha yang bertransaksi dan membayar gaji, bunga, dividen dan sejenisnya kepada WLPN maka wajib membayar transaksi tersebut.

Tarif pajak penghasilan ini sebesar 20% final berdasarkan dari jumlah bruto objek PPh 26 dan dapat berubah saat wajib peserta terdaftar dalam Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Tetapi bagi pemilik bisnis yang tidak dalam kategori Badan Usaha tetap (BUT) memiliki pengecualian. Inilah yang menjadi akar masalah dan perdebatan banyak perusahaan digital luar negeri dengan tidak membayar pajak di Indonesia.

Baca Juga: Apa Itu Akuntansi Pajak? Bagaimana Cara Menghitungnya?

Objek PPh 26

Apa saja yang termasuk objek pajak PPh 26? Berikut listnya, agar Anda tidak salah lagi mengetahui jumlah bruto untuk PPh 26.

  • Dividen
  • Bunga (termasuk diskonto dan intensif yang berhubungan dengan jaminan pembayaran)
  • Penghasilan karena aset yang digunakan, sewa dan royalti
  • Intensif dari pekerjaan, jasa dan kegiatan usaha
  • Hadiah dan penghargaan
  • Pensiun dan bayaran yang dilakukan berkala
  • Keuntungan dari utang yang terhapus
  • Premi swap dan transaksi lindung lainnya

Selain pajak karena memperoleh penghasilan atau omzet, WLPN PPh 26 juga dikenakan tarif pajak karena perolehan laba bersih usaha. Pajak yang dikenakan atas laba bersih senilai 20% yang sifatnya final karena ada penghasilan menjual aset di Indonesia dan premi asuransi serta reasuransi yang pembayarannya langsung pada perusahaan asuransi luar negeri. Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan, antara lain:

  • 20% dari laba bersih juga diberlakukan karena pengalihan atau penjualan saham yang dibangun atau ada di negara perlindungan pajak, termasuk BUT Indonesia
  • 20% dari PKP (penghasilan kena pajak) dikurangi pajak yang termasuk BUT Indonesia. Ini tidak berlaku untuk wajib pajak yang berinvestasi atau menanam kembali penghasilannya di Indonesia.
  • Tax treaty Indonesia dan negara lain bisa saja mempunyai perjanjian yang tidak sama. Tarif pajaknya bisa kurang dari 20% atau mungkin mencapai 0%.

Baca Juga: Tax Amnesty Adalah Pengampunan Pajak Bagi Wajib Pajak

Subjek PPh 26

Perbedaan PPh 21 dan 26 tentu saja ada pada subjek pajaknya. Pada Undang Undang Pajak Penghasilan No. 36 tahun 2006 menjelaskan bahwa perorangan dan BUT yang termasuk WPLN adalah sebagai berikut:

  • Perorangan yang tidak tinggal di Indonesia, perorangan yang bertempat tinggal tidak lebih dari 183 hari selama satu tahun atau 12 bulan di Indonesia, serta perusahaan yang tidak berdiri dan berada di Indonesia yang menjalankan usaha dengan BUT di Indonesia.
  • Perorangan yang tidak tinggal di Indonesia, perorangan bertempat tinggal tidak lebih dari 183 hari selama satu tahun atau 12 bulan di Indonesia, serta perusahaan yang tidak berdiri dan berada di Indonesia, tidak memiliki pendapatan dari Indonesia melalui BUT di Indonesia.

Dari uraian di atas diperoleh kesimpulan bahwa pengusaha yang tidak berdiri atau tidak ada di Indonesia dan tidak menjalankan usaha dengan dasar BUT maka tetap masuk ke kategori subjek PPh 26.

Cara Menghitung PPh 26

Setelah mengetahui teori mengenai objek dan subjek PPh 26, mungkin sebaiknya Anda juga perlu mengetahui bagaimana cara menghitung PPh 26 agar semakin fasih jika menemukan kasus pajak penghasilan ini.

PT Abu Oke memiliki wakil di luar negeri dan mengasuransikan gedung kantor ke perusahaan di negeri tersebut. PT Abu Oke membayar premi di tahun 2010 dengan nominal Rp800.000.000,-. Perhitungan PPh 26 adalah sebagai berikut:

Perkiraan penghasilan PT Abu Oke = 50% x Rp800.000.000,- = Rp400.000.000,-

Pajak Penghasilan pasal 26 = 20% x Rp400.000.000,- = Rp80.000.000,-

Ternyata, PT Abu Oke juga mengasuransikan gedung ke perusahaan Indonesia dengan premi sebesar Rp800.000.000,-. Perusahaan bisa reasuransi ke perusahaan di luar negeri dan hanya membayar Rp400.000.000,-. Perhitungan PPh 26:

Perkiraan penghasilan bersih = 10% x Rp400.000.000,- = Rp40.000.000,-

Pajak Penghasilan pasal 26 PT Abu Oke = 20% x Rp40.000.000,- = Rp8.000.000,-

Kesimpulan

Itulah penjelasan mengenai PPh 21 dan 26, ternyata perbedaan PPh 21 dan 26 sudah terdapat pada pengertian, objek pajaknya, subjek pajak dan perhitungannya.

Dalam urusan perhitungan pajak dan pengelolaan keuangan bisnis atau perusahaan, sebaiknya gunakan software akuntansi modern seperti MASERP.

Software MASERP memiliki fitur Auto Number Tax yang dapat memudahkan Anda mencatat penomoran pajak untuk faktur pajak secara otomatis tanpa harus ribet menulis manual. Anda juga bisa mengexport data pajak perusahaan Anda dari software MASERP yang dapat langsung diimport ke aplikasi E-Faktur.

E-Faktur Anda dapat langsung dibuat di dalam software MASERP yang dapat menghitung, menyetor dan melapor pajak dalam satu aplikasi saja. Sangat praktis, bukan?

MASERP dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan perusahaan Anda secara spesifik. Klik gambar di bawah ini untuk konsultasi GRATIS dengan konsultan ahli kami!