Apa Itu Omnibus Law Cipta Kerja? Yuk Simak dan Pahami Isinya

Belum lama ini, Indonesia dihadapi dengan kebijakan baru terkait Omnibus Law Cipta Kerja. Banyak pro-kontra, terhadap disahkannya rancangan perundang-undangan tersebut. Namun, jangan asal berkomentar, sebelum kamu memahami isi dari peraturan tersebut.

Meski begitu, UU Omnibus Law Cipta Kerja, telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 5 Oktober 2020 lalu, diiringi dengan protes bahkan demo.

Akan tetapi, untuk menjadi Undang-undang, meski sudah disahkan oleh Anggota Dewan, rancangan UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, tetap harus melewati serangkaian proses.

Bagaimana alurnya? Nah, setelah RUU disetujui DPR dan wakil pemerintah, selanjutnya RUU diserahkan ke presiden,  untuk disematkan tanda tangan, serta terdapat juga keterangan pengesahan, serta diundangkan dalam lembaga negara.

Bagaimana jika RUU tersebut tidak ditandatangani oleh presiden, dalam kurun waktu paling lama 30 hari, terhitung sejak RUU disetujui bersama, maka hasilnya justru RUU tetap sah menjadi UU dan wajib diundangkan, oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum-HAM).

Sehingga, saat ini RUU Omnibus Law Cipta Kerja sudah menjadi Undang-Undang yang sah, dan wajib diterapkan untuk mengoreksi regulasi yang bermasalah, dan tumpang tindih.

Sampai sudah disahkan, apakah masih ada yang masih belum paham, apa itu Omnibus Law Cipta Kerja? Yuk ketahui pengertiannya berikut ini.

Apa Itu Omnibus Law Cipta Kerja?

Jadi, Omnibus Law Cipta Kerja merupakan sebuah konsep penggabungan dari beberapa peraturan perundang-undangan, secara resmi menjadi satu bentuk undang-undang baru.

Seperti yang sudah dibahas, bahwa adanya Omnibus Law Cipta Kerja Ini dibuat untuk mengatasi tumpang tindih regulasi, serta memangkas masalah dalam birokrasi, yang sering dinilai menjadi penghambat pelaksanaan dari kebijakan yang diperlukan.

Adapun konsep penggabungan Undang-undang omnibus law atau juga dikenal dengan omnibus bill ini, ternyata juga digunakan di negara, yang menganut sistem common law, seperti Amerika Serikat dalam membuat regulasi.

Apa Saja Isi UU Omnibus Law Cipta Kerja?

Bagi yang belum tahu, dan hanya baru mendengar dari orang lain, yuk ketahui sendiri apa saja Isi UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja berikut ini.

Terlebih, UU Cipta kerja ini terdiri atas 11 klaster pembahasan, yang terdiri beberapa poin di dalamnya, diantaranya:

  • Penyederhanaan perizinan berusaha
  • Persyaratan investasi
  • Ketenagakerjaan
  • Kemudahan dan perlindungan UMKM
  • Kemudahan berusaha
  • Dukungan riset dan inovasi
  • Administrasi pemerintahan
  • Pengenaan sanksi
  • Pengadaan lahan
  • Investasi dan proyek pemerintahan
  • Kawasan ekonomi

Jika poin-poin disebutkan semua dari 11 klaster tersebut, tentunya akan ada banyak. Bahkan, bisa mencapai ratusan pasal, dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja ini.

Namun, agar kamu tidak penasaran, akan ada beberapa pasal yang setidaknya, berkaitan langsung dengan ketenagakerjaan di Indonesia. Terlebih, pasal-pasal yang akan dibahas ini, merupakan pasal yang menjadi perhatian, oleh banyak kalangan.

Poin-poin UU Omnibus Law Cipta Kerja Tentang Ketenagakerjaan

Sebelum adanya penggabungan, UU Cipta Kerja dari yang terdahulu, memang memiliki beberapa perbedaan, terkait kebijakan ketenagakerjaan yang dikeluarkan.

Tidak hanya ada perubahan, tapi juga ada penghapusan beberapa pasal, yang sebelumnya terdapat di UU 13/2003. Berikut isi dari poin-poin perubahan UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Jam Kerja atau Hari Libur

  • Jam Kerja: Menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. Sebelumnya maksimal 3 jam per hari dan 14 jam per minggu.
  • Hari Libur Mingguan: Hanya 1 hari, untuk 6 hari kerja. Sebelumnya, 2 hari libur untuk 5 hari kerja.
  • Cuti Hamil atau Melahirkan

Di UU Omnibus Law Cipta Kerja baru, tidak tercantum mengenai cuti hamil dan melahirkan. Namun, hal ini masih belum dipastikan, apakah pasal tersebut diganti atau dihilangkan.

  • Cuti Haid

Pasal selanjutnya tentang cuti haid juga tidak tercantum. Di mana di pasal sebelumnya tercatat bahwa ada cuti haid bagi perempuan di hari pertama dan kedua. Sama seperti cuti hamil dan melahirkan, pasal ini masih belum diketahui apakah diganti atau dihilangkan.

  • Hak Menyusui

Di pasal baru, hak menyusui bagi ibu yang baru melahirkan, tidak tercantum. Karena di pasal sebelumnya, pekerja perempuan yang anaknya masih menyusui, wajib diberi kesempatan atau hak untuk menyusui, bahkan selama waktu kerja. Pasal ini pun, belum dipastikan diganti atau dihilangkan.

Status Karyawan di Tempat Kerja

Seperti yang tercantum pada UU ketenagakerjaan mengenai hal ini, ada beberapa pasal yang dihapus. Bahkan, tidak ada ketentuan yang mengatur, terkait syarat Pekerja Waktu Tertentu (PKWT), atau pekerja kontrak.

Adapun, maksud dari pasal di atas adalah tidak ada batasan aturan pekerja, yang bisa dikontrak alias status kontrak tanpa batas.

Pada UU 13/2003 terkait hal ini, pasal yang dihapus adalah Pasal 59, di mana isinya mengatur perjanjian PKWT terhadap pekerja maksimal, yang dilakukan selama 2 tahun. Setelah itu, boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun.

Pada Pasal 59 ini, artinya masa kontrak pekerja maksimal adalah 3 tahun. Namun, jika sudah melewati masa itu, bisa dilakukan pengangkatan atau tidak dilanjutkan.

Upah

Ada perubahan pasal pada poin ini, yang isinya diubah menjadi 7 kebijakan, yakni sebagai berikut:

a. Upah minimum

b. Struktur dan skala upah

c. Upah kerja lembur

d. Upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu

e. Bentuk dan cara pembayaran upah

f. Hal-hal lain yang dapat diperhitungkan dengan upah

g. Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya

Sebelum diubah menjadi 7, kebijakan ini jumlahnya ada 11, yakni ada dalam pasal 88 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Apa saja 4 kebijakan yang dihapus? Berikut daftarnya:

a. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya

b. Upah untuk pembayaran pesangon

c. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan

d. Denda dan potongan upah

Baca Juga : Pentingnya Slip Gaji Karyawan di Setiap Perusahaan

  • Upah Satuan Hasil dan Waktu

Ada poin yang tercatat dalam UU Cita Kerja, mengenai upah satuan hasil dan waktu. Bagaimana maksudnya?

Adapun, maksud dari hal tersebut adalah upah yang ditetapkan berdasarkan satu waktu, misalnya seperti upah harian, mingguan atau bulanan. Bahkan, upah ini juga termasuk upah per jam.

Namun, dalam memberikan upah satuan hasil ini, ditetapkan berdasarkan hasil dari pekerjaan yang telah disepakati.

  • Upah Minimum

Pada UU Omnibus Law Cipta Kerja, terdapat poin yang menyebutkan upah minimum disebutkan hanya berupa Upah Minimum Provinsi. Sehingga istilah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan juga Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK), sudah tidak digunakan lagi.

  • Rumus Perhitungan Upah Minimum

Ada perubahan di rumus perhitungan upah minimum, dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja, yakni sebagai berikut:

UMt + 1 = UMt + (UMt) x % PEt)

Keterangan:

UMt: Upah minimum tahun berjalan

PEt: Pertumbuhan ekonomi tahunan

Tidak memasukkan perhitungan inflasi, tetapi menjadi pertumbuhan ekonomi daerah

Rumus sebelumnya yang ada pada UU 13/2003, adalah:

UMt + {UMt, x (INFLASIt + % Δ PBDt)}

Keterangan:

UMt: Upah minimum yang ditetapkan

UMt: Upah minimum tahun berjalan

INFLASIt: Inflasi tahunan

PDBt: Pertumbuhan Produk Domestik Bruto tahunan

  • Bonus

Ada penambahan terkait binus pada UU Omnibus Law Cipta Kerja. Dimana dalam UU ini diatur mengenai pemberian bonus atau penghargaan lainnya, bagi pekerja, sesuai masa kerjanya.

Sedangkan pada UU sebelumnya, tidak diatur terkait dengan pemberian bonus, kepada pekerja.

Pesangon

Semenjak pandemi, banyak pekerja yang menjadi korban PHK, lantas apakah mereka dapat pesangon? Adapun, setelah disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja, terdapat beberapa poin mengenai pesangon yang agak berbeda dengan UU Ketenagakerjaan sebelumnya.

  • Uang Pengganti Hak

Di UU Omnibus Law Cipta Kerja, tidak ada uang pengganti hak, di mana di UU sebelumnya hal ini diatur dalam Pasal 154 ayat (4).

  • Uang Penghargaan Masa Kerja

Di UU Omnibus Law Cita Kerja, tidak ada uang penghargaan masa kerja 24 tahun. di UU sebelumnya, hal ini tercantum dalam Pasal 156 ayat (3).

  • Uang Pesangon

Langsung saja, berikut poin terkait uang pesangon, yang ada di dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja:

a. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena surat peringatan

b. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena peleburan, pergantian status kepemilikan perusahaan

c. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi 2 tahun dan pailit.

d. Tidak ada uang santunan berupa pesangon bagi ahli waris atau keluarga jika pekerja/buruh meninggal

e. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena akan memasuki usia pensiun.

Sedangkan di UU Ketenagakerjaan 13/2003, aturan terkait uang pesangon adalah sebagai berikut:

a. Pesangon harus diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena melakukan pelanggaran setelah diberi surat peringatan yang diatur dalam perjanjian kerja, perjanjian perusahaan atau perjanjian kerja sama (diatur dalam Pasal 161).

b. Pesangon harus diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena perubahan status atau penggabungan perusahaan maupun perubahan kepemilikan perusahaan, sebesar 1 kali gaji, uang penghargaan masa kerja 1 kali, uang penggantian hak (diatur dalam Pasal 156).

c. Pesangon diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi dan pailit (sesuai Pasal 164 dan 165)

Pemberian uang santunan pada ahli waris atau keluarga pekerja jika pekerja/buruh meninggal dunia.

d. Pesangon diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena memasuki usia pensiun. e. Pesangon diberikan sebanyak 2 kali, uang penghargaan masa kerja 1 kali dan uang penggantian hak (sesuai Pasal 156 dan 167).

PHK

Masih ada kaitannya dengan poin sebelumnya, berikut adalah perbedaan kebijakan terkait PHK pada UU Omnibus Law Cipta Kerja dan UU Ketenagakerjaan.

Pada UU Omnibus Law Cipta Kerja, perusahaan boleh melakukan PHK, dengan 14 alasan, yakni sebagai berikut:

a. Perusahaan bangkrut

b. Perusahaan tutup karena merugi

c. Perubahan status perusahaan

d. Pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja

e. Pekerja/buruh melakukan kesalahan berat

f. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun

g. Pekerja/buruh mengundurkan diri

h. Pekerja/buruh meninggal dunia

i. Pekerja/buruh mangkir

j. Perusahaan melakukan efisiensi

k. Perusahaan melakukan penggabungan, l. peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan

l. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang

m. Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh

n. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan

Sedangkan pada UU Ketenagakerjaan 13/2003, hanya ada 9 poin pertama yakni:

a. Perusahaan bangkrut

b. Perusahaan tutup karena merugi

c. Perubahan status perusahaan

d. Pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja

e. Pekerja/buruh melakukan kesalahan berat

f. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun

g. Pekerja/buruh mengundurkan diri

h. Pekerja/buruh meninggal dunia

i. Pekerja/buruh mangkir

Jaminan Sosial

  • Jaminan Pensiun

Dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja, tidak ada sanksi pidana bagi perusahaan, jika tidak mendaftarkan pekerjanya, dalam program jaminan pensiun.

Sedangkan di UU Ketenagakerjaan sebelumnya, hal tersebut diatur dimana akan ada sanksi bagi perusahaan jika tidak mendaftarkan pekerjanya, pada program jaminan sosial.

Sanksinya adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000 dan paling banyak Rp500.000.000.

  • Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Saat ini, di UU Omnibus Law Cipta Kerja, terkait jaminan kehilangan pekerjaan, sudah dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan, yang dibuat berdasarkan prinsip asuransi sosial.

Sebelumnya, jaminan kehilangan pekerjaan, tidak diatur dalam UU 13/2003.

Kesimpulan

Nah, itu dia beberapa informasi terkait UU Omnibus Law Cipta Kerja 2020, yang belum lama ini menjadi pusat perhatian seluruh penduduk Indonesia.

Ada yang pro dan ada yang kontra. Terlepas dari banyaknya protes, ada baiknya kamu pahami betul isi dan maksud dari UU Omnibus Law ini.

Seperti yang diketahui juga, bahwa mengurus pekerja dengan jumlah yang banyak di dalam sebuah perusahaan, memang tidak mudah.

Terlebih, agar poin-poin di UU Omnibus Law ini, bisa didata dan diterapkan dengan mudah, maka beberapa pihak perusahaan membutuhkan software akuntansi modern, seperti MASERP, agar bagian finance, HR, dan lainnya bisa melakukan berbagai hal, terlebih untuk memenuhi kebutuhan pekerja, bahkan perusahaan.

Dengan software akuntansi MASERP, segala kegiatan pencatatan, bisa dilakukan dengan cepat, otomatis, dan mudah. Bahkan, software ini bisa dibuat khusus, sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

Baca Juga : HRIS Adalah Sistem Modern untuk Pengelolaan Karyawan