Jenis, Penyebab, dan Cara Mengatasi Downtime Manufaktur

Written by Tika Ulfianinda

Jenis, Penyebab, dan Cara Mengatasi Downtime Manufaktur

Banyak perusahaan manufaktur menghadapi kendala ketika proses produksi tiba-tiba terhenti dan output tidak bisa berjalan sesuai rencana. Situasi seperti ini sering menjadi sumber keterlambatan, kerugian biaya, dan kualitas layanan menjadi menurun. Dalam konteks operasional pabrik, downtime adalah kondisi ketika mesin berhenti bekerja sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya secara normal. Gangguan ini dapat muncul karena berbagai penyebab.

Untuk lebih dalam downtime dalam memengaruhi alur produksi perusahaan manufaktur serta strategi yang dapat diterapkan untuk meminimalisir dampaknya, lanjutkan membaca artikel ini sampai selesai ya!

Apa Itu Downtime Manufaktur?

Dalam proses manufaktur, setiap perusahaan tentu berusaha menjaga agar semua mesin bekerja secara stabil dan efisien. Namun, ada kalanya produksi harus terhenti sementara karena berbagai penyebab. Kondisi ini yang dikenal sebagai downtime.

Downtime adalah periode ketika mesin, peralatan, atau lini produksi tidak dapat beroperasi sebagaimana mestinya, baik karena faktor teknis maupun non teknis.

Untuk memahami konsep ini lebih jelas, Anda bisa membayangkannya sebagai waktu berhenti (non-operational time) yang membuat output produksi tidak berjalan sesuai rencana.

Pada tahap ini, proses yang seharusnya berkelanjutan menjadi tertunda sehingga berdampak pada kapasitas produksi, efisiensi tenaga kerja, hingga jadwal pengiriman.

Downtime berkaitan langsung dengan produktivitas dan biaya operasional. Perusahaan manufaktur biasanya menggunakan sistem pemantauan khusus untuk mengenali sumber masalahnya.

Setelah mengetahui masalahnya, tim dapat menentukan langkah seperti melakukan perbaikan cepat, meningkatkan kualitas perawatan (maintenance), dan menyesuaikan jadwal produksi agar lebih efisien.

Baca Juga: Mengenal Produksi Beserta Jenis, Faktor, Proses dan Biayanya

Jenis Downtime Dalam Manufaktur

Untuk menjaga proses produksi tetap stabil, penting bagi perusahaan memahami setiap kategori downtime yang terjadi. Secara umum, downtime dalam manufaktur terbagi menjadi dua jenis, yaitu planned downtime (downtime terencana) dan unplanned downtime (downtime tidak terencana). Penjelasannya sebagai berikut.

Planned Downtime (Downtime Terencana)

Jenis downtime ini terjadi sesuai jadwal dan biasanya sudah diperhitungkan dalam perencanaan produksi. Karena sifatnya terencana, dampaknya terhadap produktivitas cenderung lebih mudah dikendalikan.

Beberapa contoh planned downtime, yakni:

  • Preventive Maintenance (pemeliharaan pencegahan): kegiatan servis mesin secara berkala untuk mengurangi risiko kerusakan besar.
  • Changeover (pergantian set-up): proses mengubah pengaturan mesin ketika berpindah dari satu jenis produk ke produk lain.
  • Quality inspection (pemeriksaan kualitas): pengecekan standar produk untuk memastikan hasil produksi tetap sesuai spesifikasi.

Melalui pengaturan jadwal yang tepat, planned downtime dapat menjadi investasi untuk menjaga umur mesin, menekan biaya perbaikan besar, dan mempertahankan kualitas hasil produksi.

Unplanned Downtime (Downtime Tidak Terencana)

Berbeda dengan planned downtime, unplanned downtime terjadi secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya. Jenis downtime ini sering menjadi penyebab utama terganggunya produktivitas karena bisa menghentikan proses secara tiba-tiba.

Contoh unplanned downtime, antara lain:

  • Equipment Failure (kerusakan mesin): kondisi mesin berhenti berfungsi akibat komponen aus, rusak, atau gagal bekerja.
  • Human Error (kesalahan manusia): kesalahan pengoperasian mesin, penggunaan bahan baku yang tidak sesuai, atau salah input sistem.
  • Material Shortage (kekurangan material): keterlambatan bahan baku yang membuat lini produksi berhenti.
  • Utility Interruption (gangguan utilitas): pemadaman listrik atau masalah pada suplai air serta udara bertekanan.

Karena sifatnya tiba-tiba, unplanned downtime cenderung menimbulkan biaya tersembunyi, seperti overtime tenaga kerja, penurunan kualitas produk, hingga loss opportunity (hilangnya peluang produksi). Oleh sebab itu, perusahaan biasanya memprioritaskan strategi pencegahan dan respons cepat untuk mengatasi kategori downtime ini.

Penyebab Terjadinya Downtime di Manufaktur

Dalam proses manufaktur, downtime tidak hanya terjadi ketika mesin berhenti bekerja, tetapi juga saat alur produksi ikut terhambat sehingga output menurun.

Untuk membantu memahami alurnya dengan lebih jelas, berikut beberapa penyebab downtime yang umum terjadi di industri manufaktur.

Machine Failure (Kegagalan Mesin)

Salah satu penyebab terbesar downtime adalah kegagalan mesin. Kondisi ini terjadi ketika komponen penting mengalami kerusakan, mulai dari belt (sabuk penggerak), bearing (bantalan), hingga motor utama.

Ketika satu mesin berhenti, lini produksi lain yang bergantung padanya ikut terhambat. Oleh karena itu, banyak perusahaan mulai menerapkan predictive maintenance (perawatan prediktif) untuk memantau kondisi mesin sebelum kerusakan muncul.

Kurangnya Preventive Maintenance (Perawatan Preventif)

Downtime juga sering dipicu oleh jadwal perawatan yang tidak konsisten. Perawatan preventif dilakukan secara berkala untuk mengecek kondisi mesin, mengganti pelumas, atau membersihkan bagian yang rentan aus.

Tanpa rutinitas ini, mesin lebih mudah overheating (panas berlebih), mengalami gesekan tinggi, atau tiba-tiba macet. Akibatnya, downtime tidak bisa dihindari dan biaya perbaikannya lebih besar.

Human Error (Kesalahan Manusia)

Kesalahan operator dapat memengaruhi keberlangsungan produksi. Misalnya salah mengatur parameter mesin, kurang teliti saat melakukan pengecekan, atau tidak mengikuti Standard Operating Procedure (SOP). Oleh karena itu, pelatihan rutin dan upskilling karyawan menjadi langkah penting agar setiap operator memiliki kompetensi yang sesuai dengan kompleksitas mesin.

Material Delay (Keterlambatan Material)

Proses produksi akan terhenti jika bahan baku tidak tersedia tepat waktu. Keterlambatan dapat terjadi karena masalah di pemasok, kesalahan pengiriman, atau miskomunikasi dalam sistem inventory (persediaan).

Untuk mencegah hal tersebut, banyak perusahaan menerapkan inventory management system yang terintegrasi agar ketersediaan material dapat dipantau secara real time.

Changeover (Pergantian Produk)

Dalam beberapa industri, pergantian produk di lini produksi membutuhkan proses set-up ulang, mulai dari penyesuaian moulding (cetakan), kalibrasi alat, hingga konfigurasi parameter. Proses perubahan ini biasanya memakan waktu cukup panjang. Jika tidak dikelola dengan baik, changeover bisa menyebabkan downtime yang signifikan.

Quality Issues (Masalah Kualitas)

Ketika hasil produksi tidak sesuai standar, operator perlu menghentikan proses untuk melakukan pengecekan ulang. Produk defect (cacat) biasanya dipicu oleh masalah mesin, parameter yang tidak tepat, atau kualitas bahan baku yang menurun. Penghentian produksi ini penting untuk menghindari mass defect (cacat massal).

Gangguan Listrik atau Jaringan Internal

Downtime juga dapat muncul akibat pemadaman listrik, tegangan tidak stabil, atau gangguan pada sistem jaringan internal seperti Programmable Logic Controller (PLC) dan Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA). Ketergantungan manufaktur pada sistem otomatisasi membuat gangguan kecil bisa menghentikan seluruh lini produksi.

Baca Juga: Konsep, Cara Kerja, Manfaat, dan Tantangan Smart Factory

Cara Mengatasi Downtime Dalam Manufaktur

Untuk menjaga proses produksi tetap berjalan tanpa hambatan, perusahaan perlu menerapkan strategi yang tidak hanya reaktif, tetapi juga preventif dan terstruktur. Berikut ini beberapa cara untuk mengatasi downtime dalam manufaktur.

Penerapan Preventive Maintenance

Sebagai langkah awal, perusahaan dapat mengurangi risiko downtime dengan menerapkan preventive maintenance.

Preventive maintenance yaitu perawatan rutin yang dilakukan sebelum mesin mengalami kerusakan. Cara ini mengutamakan pembersihan, pelumasan, pengecekan komponen kritis, serta penggantian parts berdasarkan jadwal.

Melalui rutinitas tersebut, tanda-tanda wear and tear (keausan) dapat terdeteksi lebih cepat. Oleh karena itu, performa mesin tetap stabil dan gangguan yang tidak diinginkan secara tiba-tiba dapat diminimalisir.

Implementasi Predictive Maintenance

Untuk mendorong efisiensi yang lebih tinggi, perusahaan dapat melanjutkan upaya pencegahan melalui predictive maintenance.

Cara in memantau kondisi mesin secara real-time menggunakan sensor dan data digital. Teknologi seperti vibration analysis (analisis getaran), thermal imaging (pencitraan suhu), dan oil analysis (analisis oli) membantu memprediksi komponen mulai menurun performanya. Dengan informasi tersebut, perbaikan dapat dilakukan lebih tepat waktu sebelum kerusakan besar terjadi dan mengganggu alur produksi.

Menyediakan Spare Parts Inventory yang Tepat

Selanjutnya, untuk mempercepat proses perbaikan ketika gangguan muncul, perusahaan perlu memiliki spare parts inventory (stok komponen cadangan) yang terkelola dengan baik.

Melalui pengelompokan komponen berdasarkan tingkat kritikal, penetapan minimum stock level, dan pengecekan inventaris secara rutin, perusahaan dapat memastikan ketersediaan parts selalu terpantau. Dengan kesiapan tersebut, teknisi dapat memperoleh komponen yang dibutuhkan tanpa harus menunggu pengiriman dari pemasok.

Strategi inventory readiness (kesiapan inventaris) ini dapat memangkas durasi downtime secara signifikan.

Pelatihan Operator Secara Berkala

Selain menjaga kesiapan mesin, perusahaan juga perlu memastikan operator memiliki kompetensi yang cukup melalui pelatihan rutin. Pelatihan ini mencakup pemahaman Standard Operating Procedure (SOP), praktik keselamatan kerja, serta pengenalan early warning signs (tanda awal kerusakan), seperti suara abnormal atau peningkatan getaran.

Dengan operator yang lebih peka terhadap kondisi mesin, potensi gangguan dapat dilaporkan lebih cepat sehingga teknisi dapat melakukan penanganan sejak awal.

Penerapan Sistem Andon

Untuk mempercepat respon produksi, perusahaan juga dapat mengintegrasikan sistem Andon. Sistem visual ini berupa lampu indikator atau alarm yang menandakan status mesin.

Ketika operator mengaktifkan Andon saat terjadi trouble, teknisi dapat langsung mengetahui lokasi dan urgensi gangguan tanpa harus menunggu laporan. Dengan komunikasi yang lebih cepat, downtime dapat dipersingkat dan proses perbaikan dapat segera dilakukan.

Root Cause Analysis (RCA)

Setelah gangguan berhasil ditangani, langkah selanjutnya adalah melakukan Root Cause Analysis (RCA) atau analisis akar penyebab untuk memastikan masalah yang sama tidak terulang kembali.

Melalui metode seperti 5 Why’s atau Fishbone Diagram, perusahaan dapat mengidentifikasi faktor yang memicu kerusakan. Setelah penyebab utama ditemukan, tindakan korektif jangka panjang dapat diterapkan sehingga mesin lebih andal dan downtime serupa dapat dicegah.

Baca Juga: Kenali Karakteristik, Fungsi, dan Contoh Pabrik

Cara Menghitung Biaya Downtime

Untuk mengetahui cara menghitung biaya downtime yang benar, berikut rumus dan penjelasannya.

Total Downtime Cost = Biaya Tenaga Kerja Menganggur + Nilai Produksi yang Hilang + Biaya Perbaikan Mesin + Biaya Operasional Tambahan

Agar lebih mudah dipahami, berikut penjelasan setiap komponennya, ya.

  • Biaya Tenaga Kerja Menganggur: Ini adalah biaya yang muncul karena pekerja tetap dibayar saat mesin berhenti.

Rumus bagian ini: Jumlah pekerja terdampak × upah per jam × lama downtime.

  • Nilai Produksi yang Hilang: Menghitung pendapatan yang seharusnya didapat jika mesin tidak berhenti.

Rumus bagian ini: Output per jam × nilai per unit × lama downtime.

  • Biaya Perbaikan Mesin: Termasuk biaya mengganti suku cadang, jasa teknisi, dan alat khusus yang digunakan untuk memperbaiki mesin.

Rumus bagian ini: Biaya suku cadang + biaya teknisi + biaya peralatan tambahan.

  • Biaya Operasional Tambahan: Biaya ini muncul setelah mesin kembali berjalan, misalnya energi ekstra saat restart, lembur untuk mengejar produksi, atau penyesuaian proses lainnya.

Rumus bagian ini: Biaya energi tambahan + biaya lembur + biaya operasional lain.

Setelah semua komponen dihitung, Anda cukup menjumlahkannya untuk mendapatkan total kerugian akibat downtime.

Baca Juga: Pentingnya Software Produksi Pada Bisnis Manufaktur

Kesimpulan

Secara umum, downtime dapat menimbulkan kerugian bagi operasional perusahaan, mulai dari hilangnya pendapatan hingga menurunnya reputasi di mata pelanggan.

Waktu henti yang terjadi terlalu sering atau berlangsung terlalu lama juga berdampak pada produktivitas tim dan tingkat kepuasan pelanggan.

Penerapan langkah pencegahan yang tepat, seperti pemeliharaan prediktif dan penggunaan sistem redundan, menjadi faktor penting untuk mengurangi potensi terjadinya downtime.

Untuk mendukung opersional perusahaan manufaktur, Anda dapat mempertimbangkan untuk mengimplementasikan sistem ERP (enterprise resource planning). Sistem ERP adalah sistem yang memiliki modul lengkap dari produksi hingga penjualan dalam satu sistem.

Pabrik identik dengan produksi massal dan persediaan barang yang banyak juga. Agar tidak membingungkan karena jumlah produksi yang banyak, fitur Batch Number pada MASERP bisa memudahkan Anda membedakan barang yang baru diproduksi hari ini dengan barang produksi hari sebelumnya sehingga tidak mengalami double produksi.

Anda bingung menentukan harga pokok produksi (HPP)? Formula Bill of Material pada MASERP membantu Anda menentukan HPP sementara dan final.

Untuk mengetahui lebih banyak tentang software MASERP yang akan memberikan banyak kemudahan pada perusahaan manufaktur Anda, langsung saja konsultasikan apa yang Anda butuhkan kepada konsultan ahli kami. Gratis!

Konsultasi dan Demo Gratis Software ERP MASERP
Jadwalkan free konsultasi dan demo fitur lengkap software ERP MASERP untuk bisnis Anda.

Index